Search

Menulis Bukan Bakat

Menulis Bukan Bakat

Pernahkah Anda berkata, “Ah, saya sudah mencoba menulis, tapi selalu mentok. Kayaknya saya memang nggak berbakat menjadi penulis.”

Kalau Anda pernah berkata dan berpikir seperti ini, berarti Anda sama dengan saya yang dulu. Tapi itu dulu. Sekarang tidak demikian.

Saya ingin menceritakan pengalaman seseorang. Anda ingin mendengar atau membacanya? Silakan perhatikan paragraf demi paragraf tulisan berikut.

Ia bisa dikatakan seorang yang “tidak memiliki bakat” menulis. Bahkan, tak pernah sekali pun ikut pelatihan menulis. Baginya, menulis merupakan dunia baru. Ia dulu dikenal sebagai orator ketika di pesantrennya.

Saat kuliah di STAIN Batusangkar (sekarang UIN Mahmud Yunus Batusangkar), keinginannya  menulis mulai tumbuh. Hal itu berawal dari kebiasaannya membuat makalah, sebagai bagian dari tugas kuliahnya. Juga seringnya ia membaca buku-buku karya HAMKA. Ia berpikir, Buya HAMKA saja yang tidak kuliah atau mengecap bangku sekolah formal dapat menulis ratusan buku yang mengguncang dunia.

Di kamar surau yang ia tempati, dengan mesin tik barunya, ia mulai memainkan jari-jari. Ia mencoba mengeluarkan apa yang di pikiran dan menuangkan apa yang dirasakannya. Gagal. Baru satu paragraf, ia mengalami kebuntuan. Ia nyaris menyerah, “Ah sepertinya saya tidak berbakat menulis,” pikirnya ketika itu.

Namun, ia yang dikenal kareh hati (memiliki tekad yang kuat) tidak mau menyerah. Ia keluar sejenak untuk me-refresh sembari menstimulasi ide. Melihat aliran sungai di samping surau, memandangi hijaunya persawahan. Lalu, ia kembali masuk kamar.

Ia duduk di depan mesin tik. Ia berlatih kembali untuk menuangkan ide. Walaupun terasa sulit, satu dua kalimat pun dapat ia tuangkan. Hal itu ia lakukan selama tiga hari. Dalam tiga hari ia hanya dapat menyelesaikan satu halaman kuarto.

Bukan main bahagianya. Menyelesaikan satu halaman dalam tiga hari seperti memenangkan peperangan mengalahkan kebuntuan.

Demikianlah latihan menulis itu ia lakukan setiap hari. Agar memudahkan dirinya, ia mencoba menyusun untaian kata hikmah dari para sahabat, para ulama, dan para tokoh. Akhirnya, tuntaslah buku ukuran A5, setebal 54 halaman.

Tahukan Anda, siapakah orang yang saya ceritakan di atas? Dialah Abdul Hakim El Hamidy, alias saya sendiri, hehehe.

Coba Anda baca  kembali cerita saya. Adakah saya ber-bakat menulis? Tidak sama sekali. Kalau dikatakan berbakat, bakat saya adalah berbicara, bukan menulis. Tapi karena tekad saya kuat, justru kini menulis menjadi keasyikan,  bahkan boleh dibilang saya akan galau kalau tidak menulis dan mengedit tulisan orang.

Memang, ada sih “Mazhab Bakat” yang mempercayai bahwa bakat seseorang akan sangat dipengaruhi keturunannya atau gen. Namun yang mesti diingat adalah, dalam konteks dunia profesi atau keahlian yang dibutuhkan adalah kemauan atau  siap untuk fight  menggapai impian. Saya  percaya bahkan haqqul yaqin, bahwa manusia diciptakan dengan segudang potensi. Persoalannya  sejauh mana Anda (sebagai manusia) dapat menggali sekaligus mengembangkan potensi diri. Bakat, dalam hal ini saya lebih ingin mengatakan bahwa ia bukan bawaan, tetapi hasil imitasi seseorang sejak kecil yang mungkin saja meniru orang yang ada di dekatnya, atau paling tidak merupakan aktivitas spontan dan ia enjoy dengannya.

Tidak sedikit yang menjadi penulis hebat padahal sesungguhnya  tidak memiliki keturunan atau ‘kutukan’ penulis. Menjadi penulis merupakan sebuah proses (writing is process) dari pencarian jati diri. Banyak penulis yang tumbuh dan berkembang  setelah dirinya dewasa, walaupun tidak ada iklim menulis di keluarganya. Demikian halnya dengan saya. Tidaklah  terbayang jika saya bisa menjadi penulis dan dapat menerbitkan puluhan buku. Jika pun dikatakan BAKAT, maka bakat saya menulis hanyalah bakat ku butuh (bahasa Sunda: karena kebutuhan). Tidak ada iklim menulis di keluarga saya. Ayah saya tidak tamat SR (SD).  Bukan penulis. Logikanya, tidak ada yang memotivasi saya untuk menjadi penulis. Saya tergerak menulis karena banyak membaca buku, salah satunya karya Buya Hamka, yang membuat saya berpikir, beliau bukan sarjana, tapi koq bisa menulis sebanyak itu? Lho, saya yang sarjana, masak iya nggak bisa menghasilkan satu karya pun?

Itu pengalaman saya. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Bisa jadi mengawali menulis karena sebuah tuntutan seperti halnya siswa yang harus membuat paper sebagai tugas akhir, calon sarjana yang harus membuat skripsi sebagai syarat meraih gelar, calon master yang harus membuat tesis untuk menyelesaikan S2, atau kandidat doktor yang harus membuat disertasi sebagai syarat menuntaskan studi S3-nya. Namun  juga tidak sedikit orang yang berawal dari kesepakatan dalam komunitasnya untuk melahirkan karya tulis, sehingga sanksinya bukan lagi pada nilai pelajaran, tapi sanksi moral dari anggota komunitasnya. Maka jelas di sini, orang menulis tidak lagi melihat faktor keturunan atau bukan.

Dapat dimungkinkan juga orang bisa menulis karena bergaul dengan orang yang memiliki kebiasaan menulis, maka dia akan tertular “virus”menulis. Sebagai contoh, saya memiliki beberapa teman  yang awalnya tidak ada niat menjadi penulis, tapi setelah saya motivasi, mengetahui manfaatnya, kemudian juga dituntut oleh administrasi untuk kenaikan pangkat, sampai saat ini sudah lebih dari tujuh karya yang dihasilkannya.

 

Share :